Tak terasa, kita telah di penghujung Sya’ban, dan sebentar lagi
kita akan memasuki Ramadhan. Bulan yang Penuh berkah dan hikmah. Bulan penuh
ampunan, maghfiroh Allah SWT. Bulan yang sangat dinantikan oleh setiap muslim
di seluruh permukaan bumi, bahkan dinantikan oleh seluruh makhluk Allah.
“Hai orang—orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa “ (QS. Al-Baqarah : 183)
Menyambut bulan suci Ramadhan yang dinanti, marilah sejenak kita
mengkaji sejarah, hakikat dan faedah puasa bagi kita. Merupakan persiapan
menuju Ramadhan, sehingga ibadah puasa yang akan kita laksanakan akan menjadi
lebih bermakna bagi kita yang melaksanakannya.
Sejarah Puasa
Dalam catatan sejarah (kitab Fiqhus Sunnah : Syaikh Sayyid Sabiq
juz I), perintah mengerjakan ibadah puasa sebagaimana tertera dalam QS.
Al-Baqarah : 183 di atas, turun secara jelas pada tahun 2 Hijrah atau
bertepatan dengan tahun 623 M.
Selain itu QS. Al-Baqarah 183 di atas memberikan gambaran bahwa
ibadah puasa merupakan ibadah yang bersifat universal artinya ibadah puasa
pernah juga diwajibkan atas umat terdahulu (agama samawi lainnya), dengan
syariat atau tata cara pelaksanaan yang berbeda-beda. Atas dasar itu, Prof Dr.
Mahmud Syaltut dalam kitabnya “Islam : Aqidah wa syariah” (juz I) mengatakan
bahwa puasa merupakan ibadah yang paling tua usianya karena pernah diwajibkan
Allah SWT atas bangsa-bangsa terdahulu. Perintah puasa itu ada didalam
perjanjian lama, perjanjian baru dan didalam semua kitab suci lain. Satu contoh
puasa Nabi Daud AS dilaksanakan secara selang seling setiap 2 hari sekali.
Bahkan kaum penyembah berhalapun menjalankan puasa
Puasa dalam kitab-kitab suci itu sangat sulit. Puasa yang paling
mudah di berikan kepada umat Nabi Muhammad SAW Bahkan menurut riwayat yang ada,
pada awalnya puasa ini sangat sulit. Selama periode awal, para sahabat
Rasulullah SAW hanya diperbolehkan membatalkan puasanya antara maghrib dan
isya. Setelah Isya mereka diperintahkan untuk berpuasa kembali sehingga mereka berpuasa
selama 22 jam. Kemudian Allah membuatnya lebih ringan.
Muncul pertanyaan, bagaimana sikap kita terhadap syariat puasa
ummat terdahulu.? Dalam hal ini, menurut Prof. DR. Abu Su’ud, Agama Islam masih
mentolerir perilaku puasa yang sudah dilakukan ummat terdahulu (sebelum Islam
Nabi Muhammad SAW datang), dengan catatan tidak diniatkan sebagai ibadah. Namun
demikian, ada juga sebagian ulama berpendapat bahwa segala bentuk puasa non
Islam harus tidak dilakukan, kecuali untuk kepentingan kesehatan, karena ada
kemaslahatan didalamnya. Hal yang lebih penting bagi penulis adalah bagaimana
puasa dapat dihayati tidak hanya sebagai media pendekatan diri kepada Allah SWT
(hablum min Allah) semata, namun pada saat yang sama puasa perlu dijiwai
maknanya sebagai sarana memperkuat jalinan hubungan kemanusiaan (hablum
minannas).
Hakikat dan Tujuan Puasa
Dikisahkan oleh Imam Al– Ghazali, pada zaman Nabi SAW, ada dua
orang perempuan yang sangat kepayahandalam melakukan puasa. Mereka begitu lapar
dan dahaga, hampir-hampir pingsan. Mereka minta izin untuk berbuka. Nabi SAW
menyuruh mereka muntah. Segera orang-orang melihat kedua wanita itu memuntahkan
darah dan daging busuk. Ketika orang-orang menyaksikan peristiwa tersebut
merasa heran, lantas Nabi SAW bersabda seketika: ” Mereka berpuasa dari apa
yang di haramkan oleh Allah SWT (yakni makan dan minum), tetapi mereka
membatalkanpuasanya dengan yang diharamkan oleh Allah SWT. Mereka duduk-duduk
sambil menggunjingkan kejelekan orang lain. Itulah daging busuk yang mereka
makan.”
Dilain kisah, pada suatu hari Rasulullah mendengar seorang
perempuan sedang memaki-maki jariyah (budak) kepunyaannya,
padahal perempuan itu sedang berpuasa. Rasulullah mengambil makanan dan berkata
padanya” Makanlah!”. Perempuan itu berkata ; ”Saya sedang berpuasa ya
Rasulullah “.Mendengar itu, Rasulullah menjawab: ”Bagaimana mungkin engkau
berpuasa, padahal engkau telah memaki-maki jariyah (budak)mu.
Puasa bukan hanya menahan makan dan minum saja. Allah SWT telah menjadikan
puasa sebagai penghalang (selain makan dan minum), juga dari hal-hal tercela,
yaitu perkataan dan perbuatan yang merusak puasa. Alangkah sedikitnya yang
puasa, alangkah banyaknya yang lapar (Ma qallasa-shawwam,wa ma
aktsaral-jawwa’)”. Ucapan Rasulullah yang terakhir ini menyimpulkan perbedaan
“puasa” dengan “ melaparkan diri”.
Dalam definisi Ahli Fiqh (fuqaha), puasa (shawm)
adalah menahan diri dari segala perkara yang merusaknya (baik makan, minum,
atau dorongan nafsu)dengan tujuan sebagai salah satu sarana mendekatkan diri
kepada Allah SWT(al-imsak anil –mufthirat al-ma’hudat. Dalam definisi
tentang shaum (puasa) tersebut, ada kata “al-imsak”. dalam bahasa arab, kata
dasar “amsaka/al-imsak“, artinya menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu
(self-restraint). Sedangkan “imsak bi” artinya berpegang teguh kepada sesuatu
yang dijadikan gantungan atau pegangan. Zainal Abidin (cucu Nabi SAW) berkata
:”wa la umsiku illa billahi”(Aku tidak perpegang teguh kecuali pada tali Allah
SWT)”
Hakikat puasa sesungguhnya terletak pada “Imsak ‘an” (menahan
diri) dan “imsak ‘bi”(berpegang teguh kepada Allah dan rasul_Nya). Kita dapat
saja ber-imsak ‘an tapi tidak ber-imsak bi . Kita
menahan diri dari makan dan minum, tapi bukan karena berpegang teguh kepada
ajaran Tuhan. Bisa saja kita hanya ingin melangsingkan tubuh, mempercantik
diri. hal tersebut berarti kita tidak berpuasa. Kita sedang diet. Boleh jadi
kita ber-imsak ‘bi, kelihatannya seperti berpegang teguh kepada Al-Quran
dan Al-Sunnah, tetapi kita tidak ber- imsak ‘an, Idealnya,
orang yang ber –imsak ‘bi, dengan sendiriya berimsak ‘an meski kenyataannya
tidak. Ada sementara kita mengaku “ Ahlul Qur’an“ atau berpegang teguh dengan
ajaran Al – Qur’an, namun pada saat bersamaan kita tidak mampu menahan diri
dari menyalahkan pendapat atau paham lain. Kita sulit memahami pendapat orang
lain.
Hal tersebut sama kasusnya dengan menahan lapar dan dahaga dari
terbit Fajar sampai tenggelam matahari. Kita kelihatannya perpegang teguh
dengan ketentuan puasa. Namun, kita sulit menahan diri dari memfitnah,
mengumpat dan memaki – maki. Kata Rasullah SAW anda bukan “Al- Sawam” (
orang yang berpuasa ); anda hanyalah Al – Jawwa ( orang lapar ). Lebih parah
lagi ada saja orang yang tidak ber-imsak’an, apalagi ber-imsak’bi.
Inilah manusia yang hanya mempertuhankan hawa nafsunya, ia tidak
mempunyai nilai – nilai yang menjadi “ way of life “ dalam
hidupnya. Ia mengalami kekosongan hidup yang menurut ahli jiwa ia mengalami existensial
vacuum. Hidupnya sama sekali tidak bermakna bagaikan layang – layang putus
talinya. Orang semacam ini dalam optik Al – Quran ( surat QS Al – Tiin : 5 )
memiliki derajat lebih rendah dari binatang ternak sekalipun ( Asfala
safiliin ).
Pada akhirnya dan yang menjadi harapan kita bersama, ada juga
umat islam yang berusaha menjalankan segalanya secara maksimal dalam berpuasa
yaituber – imsak’an ( menahan diri) dan sekaligus ber –
imsak ‘ bi ( berpegang teguh kepada perintah Allah dan Rasul- Nya),
merekalah orang – orang yang benar – benar berpuasa “ Al – Sawwam “. Mereka
adalah orang – orang yang mendapatkan predikat “Taqwa “, sebuah predikat
bergensi di hadapan Allah SWT yang diantaranya diperoleh karena menjalankan
ibadah puasa dalam arti yang sebenarnya. Pribadi takwa ( muttaqin ) yang
menjadi tujuan puasa.
Menurut Maulana Muhammad Ali dalam tafsirnya “ The Holy Qur’an “
adalah pribadi yang memenuhi kewajiban dan menjaga diri dari kejahatan. Dengan
predikat itu juga, memungkinkan manusia dapat mewujudkan perilaku yang luhur,
baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial.
Karena puasa mengandung banyak rahasia dan jutaan hikmah, sudah
sepantasnyalah kalau kita menyambut kedatangan bulan suci ramadhan 1434 H
dengan penuh rasa gembira. Dengan kegembiraan itu, akan membuat kita dapat
menjalankan ibadah puasa dengan khusu’, tawadhu, dan ikhlas selama sebulan
penuh. Bukan dianggap sebagai beban berat sehingga mencari – cari alasan agar
tidak berpuasa.
Kegembiraan kita dengan datangnya bulan suci Ramadhan 1434 H
ini, harus dapat ditunjukkan dengan berupaya semaksimal mungkin memanfaatkannya
sebagai momentum untuk mentalbiah (mendidik) diri sendiri, keluarga, dan
masyarakat ke arah pengokohan dan pemantapan taqwa kepada Allah SWT . Sebab,
hal tersebut amat diperlukan bagi upaya meraih keberkahan dari Allah SWT bagi
bangsa Indonesia. Kita tentu harus perhatikan dengan kondisi bangsa dan
masyarakat kita yang masih mengalami krisis-krisis tersebut idealnya diatasi
dengan memantapkan iman dan taqwa (terlebih pada bulan ramadhan nantinya ).
Bukan dengan menggunakan cara sendiri –sendiri , apalagi dibungkus berbagai
kepentingan sesaat yang akhirnya malah memicu dan memacu pertentangan dan
perpecahan yang justru menjauhkan kita dari rahmat dan keberkahan Allah SWT,
meskipun kita berkoar- koar mengatasnamakan kitab suci-Nya.
“An-Nur” Edisi I Sya’ban 1528 H Oleh: Abdul Fatah, M.Fil.I
No comments:
Post a Comment